Saat Gunung Merapi bergejolak, nama Maridjan kembali mencuat. Semua perhatian tertuju ke arah lelaki yang kerap disapa dengan sebutan Mbah Maridjan ini. Sebagai orang yang dipercaya menjadi juri kunci gunung keramat itu, perkataan Mbah Maridjan menjadi penting.
Empat tahun lalu misalnya. Saat itu awan tebal kerap muncul di pucuk Merapi. Gempa pun berkali-kali menggungcang bumi Yogyakarta dan sekitarnya. Sejumlah ahli menduga Merapi bersiap untuk meletus. Pemerintah pun segera bergerak mengevakuasi warga. Namun warga menolak karena Mbah Maridjan belum memerintahkan mereka untuk mengungsi.
Entah perkiraan ahli yang meleset atau indra keenam Mbah Maridjan yang tepat. Yang jelas, saat itu Merapi tidak jadi meletus. Di puncak Merapi hanya muncul sebuah pulau kecil di tengah-tangah kawah. Akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap Mbah Maridjan semakin tebal.
Itulah kendala yang dihadapi pemerintah saat ini. Ketika Merapi memperlihatkan tanda-tanda akan meletus. Hampir sebagian besar masyarakat di sekitar Merapi menolak untuk mengungsi. Mereka tetap menunggu 'komando' dari Mbah Maridjan.
Berikut ini petikan wawancara dengan Mbah Maridjan. Saat itu ia berada di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman yagn berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak Merapi.
Beberapa hari lalu tidak ada di rumah, pergi ke mana Mbah?
Saya pergi ke rumah anak saya di Bekasi. Kebetulan orang tua anak menantu saya yang ada di Bandung meninggal.
Kapan kembali dari sana?
Sampai rumah baru kemarin (Ahad 24/10) jam 19.00.
Naik apa Mbah?
Naik sepur (kereta), eh macet. Walah, naik sepur kok malah macet.
Apakah kepulangan Mbah ini karena aktivitas Merapi meningkat?
Begini ya. Saya ini orang bodoh. Makanya ada yang menggambar saya dengan kepala besar dan badan yang kecil (gambar karikatur dari seorang wartawan yang ia pajang di rumahnya). Kalau ada yang menanyakan Merapi seperti apa, saya tidak tahu. Itu kewenangan pemerintah yang punya seismograf. Lha saya kan tidak punya seismograf... (sambil tertawa dengan menutupkan kedua telapak tangannya ke mulut).
Tadi ada pengumuman di masjid (sekitar 100 meter dari rumahnya), kalau Merapi naik statusnya jadi awas. Apa tanggapan Mbah?
J: Begini ya. Saya ini hanya orang kecil di bawah RT (rukun tetangga). Seperti tulisan “Ngayogyakarta” yang ada di Masjid Agung Kasultanan Ngayogyakarta (Masjid Besar Kauman). Itu kan terdiri dari tiga huruf: huruf arab yang artinya agama, huruf gedrik (latin) yang menandakan pemerintah, dan huruf jawa yang artinya rakyat kecil. Sebagai rakyat kecil, saya hanya bisa mengajak, mari kita berdoa bersama-sama kepada Tuhan agar Yogyakarta diberi perlindungan. Bagas waras.
Jadi kalau diminta pemerintah untuk mengungsi bagaimana Mbah?
Lha saya ini kerasan tinggal di sini. Saya pilih tinggal di masjid. Ndonga (berdoa). Karena tamu-tamu saya banyak. Waktu saya ke Bekasi, banyak tamu yang kecele. Coba lihat di buku tamu itu. Kalau ketemu tamu-tamu kan saya tidak melamun, malah menghibur saya. Bisa tertawa. Karena kalau saya diam, itu bisa ditandai stres.
Apa harus menunggu Sultan yang memerintahkan?
Yang ndhawuhi (menyuruh) siapa? Seperti erupsi 2006 lalu, diberitakan kalau Ngarso Dalem (Sultan) memerintah Mbah Maridjan untuk mengungsi. Lha itu siapa yang bilang? Yang bilang kan koran (media)? Lalu ndhawuhinya (memerintahkannya) dimana? Kalau Ngarso Dalem ndhawuhi di kantor Kepatihan, ya itu gubernur, pemerintah.
Kalau warga Kinahrejo (dusun tempat tinggal Mbah Maridjan) mau mengungsi bagaimana Mbah? Kan simbah sesepuhnya?
Saya ini wong tuwo, tapi tidak tua. Kalau mau mengungsi, ya monggo. Jangan sampai saya merepotkan pemerintah. Wong saya baru jalan satu kilometer saja sudah merepotkan orang, karena orang akan menghentikan motornya dan minta saya mbonceng...hehehe...
Ada pesan buat masyarakat?
Saya minta tolong untuk menyampaikan pesan saya ya, kepada masyarakat juga pemerintah. Mari kita berdoa kepada Allah agar Merapi baik-baik saja...
sumber: http://dunia-panas.blogspot.com/2010/10/alasan-mengapa-mbah-maridjan-tak-mau.html